Rabu, 04 April 2012

Pembelian Saham Divestasi PT Newmont Nusa Tenggara Harus Dapat Persetujuan DPR

Sumber keuangan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai Badan Layanan Umum (BLU) adalah dari APBN, dan keuntungan PIP masuk kategori pendapatan negara bukan pajak dan merupakan bagian dari penerimaan APBN. Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan dan bagian yang tidak dipisahkan dari APBN.

Menurut pandangan DPR, proses pembelian saham divestasi PT NNT oleh PIP merupakan bentuk penyertaan modal. Hal ini sebagaimana pengertian Pasal 24 ayat (2) dan (7) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. “Proses pembelian saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara oleh Pusat Investasi Pemerintah sebesar 7%, DPR RI berpandangan, ini termasuk penyertaan modal, sehingga berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003, mutlak mendapatkan persetujuan DPR RI.” Demikian Pandangan DPR yang disampaikan oleh anggota Komisi XI Arif Budimanta di persidangan Mahkamah Konstitusi Rabu (4/4/2012).

Sidang pleno untuk perkara nomor 2/SKLN-X/2012 mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Presiden Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini mengagendakan mendengarkan keterangan Ahli/Saksi dari Pemohon, Termohon I dan Termohon II (IV). Permohononan SKLN ini diajukan oleh Presiden melalui Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan sebagai Termohon 1 yaitu DPR dan BPK sebagai Termohon II. Sebagaimana dalam persidangan sebelumnya, Pemerintah (Pemohon) dalam permohonannya menyatakan memiliki hak konstitusional untuk melakukan investasi dengan membeli 7% (tujuh persen) saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) tanpa melalui persetujuan DPR (Termohon I). Di sisi lain, DPR berpendapat, Pemerintah harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu sebelum melakukan penyertaan modal.

Pengawasan Mutlak

Siswo Sujanto ahli yang dihadirkan BPK dalam keterangannya antara lain menyatakan keberadaan PIP di Kemenkeu saat ini sangat janggal. Alasanya, PIP sebagai BLU seharusnya bercirikan sebagai institusi pemerintah penyedia layanan publik yang tidak berorientasi pada profit. “Kenyataannya, sebaga lembaga investasi, PIP merupakan institusi yang berorientasi pada pemupukan keuntungan,” kata Siswo.
Menurutnya, pembelian saham divestasi PT NNT sebesar 7% oleh Pemerintah yang dilakukan oleh PIP, harus dituangkan dalam rencana bisnis dan anggaran PIP selaku BLU. Selanjutnya, rencana bisnis dan anggaran PIP selaku BLU sebagai bagian dari RKA-KL Kemenkeu harus dibahas dan disetujui oleh DPR. “Dengan demikian, pembelian saham PT NNT sebesar 7% oleh pihak Pemohon dalam hal ini dilakukan oleh PIP harus dibahas dan disetujui terlebih dahulu oleh DPR sebelum dilaksanakan,” tandasnya.  

Ahli BPK lainnya, Muchsan, dalam keterangannya menyatakan, pemeriksaan BPK yang dituangkan dalam Laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK yang menyatakan bahwa proses pembelian saham PT NNT tahun 2010 harus disetujui oleh DPR sesuai dengan kewenangan BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 23E ayat (3) UUD 1945. Pembelian saham PT NNT sebesar 7% yang tidak atau belum ada persetujuan DPR, bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945.

Sementara itu, Frans Limahelu, ahli BPK, melihat perkara ini bukan perkara sengketa kewenangan lembaga negara. “Tapi hanya soal day to day atau housekeeping regulations,” kata Frans.

Anggito Abimanyu, ahli yang dihadirkan Mahkamah, dalam keterangannya, sebagai saksi sejarah sekaligus pelaku yang terlibat langsung dari proses awal divestasi PT NNT, Anggito sangat menyayangkan terjadinya SKLN divestasi PT NNT yang mengakibatkan terganggunya kepercayaan para pelaku usaha dan ketidakpastian iklim investasi khususnya di sektor pertambangan umum. “Saya juga sangat menyayangkan berlarutnya penyelesaian divestasi NNT hingga lebih dari satu tahun, hingga Indonesia telah kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan negara, mensejahterahkan provinsi NTB dan kabupaten sekitar,” terang Anggito.

Menurutnya, alokasi dana investasi divestasi 7% saham NNT belum terinci dalam rencana kegiatan investasi, rencana bisnis dan anggaran PIP 2011. Kemudian, rincian belanja satuan kerja sub program PIP pada 2011 telah tercantum angka 1 trilyun rupiah. Sehingga dana tersebut belum mencukupi untuk pembelian 7% saham PT NNT. Lebih lanjut anggito menyatakan, proses pembelian saham PT NNT memerlukan persetujuan DPR. “Saya berpendapat bahwa proses pembelian 7% saham PT NNT oleh PIP masih memerlukan persetujuan dari komisi terkait, yaitu Komisi XI DPR RI sebagai bagian dari kelengkapan proses persetujuan APBN 2011,” tandas Anggito. (Nur Rosihin Ana)

Rabu, 14 Maret 2012

Menkeu: Pembelian 7% Saham Divestasi PT Newmont untuk Kepentingan Nasional

Keputusan Presiden untuk melakukan pembelian 7% saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) Tahun 2010 dilakukan semata-mata demi kepentingan nasional dan kemanfaatan dengan tujuan untuk dapat dinikmati oleh bangsa, negara dan seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan pembelian saham divestasi diharapkan juga dapat menjaga kepentingan nasional, memastikan kepatuhan perusahaan atas kewajibannya seperti pembayaran pajak, royalty, pelaksanaan corporate social responsibility, kepatuhan pada pengelolaan lingkungan hidup, terutama adalah timbulnya multiplier effect bagi masyarakat sekitar industri yang pada akhirnya akan mendorong perkembangan industri hilir sehingga meningkatkan kemakmuran bagi rakyat.
Demikian disampaikan oleh Menkeu Agus Dermawan Wintarto Martowardojo dalam sidang perkara nomor 2/SKLN-X/2012 mengenai sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Rabu (14/3/2012). Sidang pleno dengan agenda perbaikan permohonan dan mendengarkan jawaban termohon I serta termohon II ini dilaksanakan oleh sembilan hakim konstitusi. Permohononan SKLN ini diajukan oleh Presiden melalui Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan pihak termohon 1 yaitu DPR dan BPK sebagai termohon II.
Di hadapan pleno hakim konstitusi, Menkeu Agus Martowardojo dalam executive summary menyatakan, Presiden RI sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan. Salah satu kekuasaan pemerintahan dimaksud adalah kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara. Pengaturan lebih lanjut kekuasaan pengelolaan keuangan negara terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) UU Keuangan Negara. Tugas Menkeu selain membantu Presiden RI, juga merupakan penerima kuasa Presiden RI dalam hal pengelolaan fiskal sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a UU Keuangan Negara. Selaku pengelola fiskal, Menkeu melaksanakan fungsi Bendahara Umum Negara yang mempunyai beberapa tugas dan kewenangan. Salah satu kewenangan Bendahara Umum Negara adalah melakukan investasi berdasarkan Pasal 41 ayat (1), (2), dan (3) UU Perbendaharaan Negara.
“Salah satu bentuk pelaksanaan investasi yang dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku penerima kuasa fiskal pemohon (Presiden), dan Bendahara Umum Negara adalah melakukan pembelian saham divestasi PT NNT Tahun 2010,” kata Agus.
Pembelian 7% saham divestasi PT NNT, lanjut Agus, bertujuan untuk memberikan manfaat seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia untuk mewujudkan tujuan bernegara yaitu memajukan kesejahteraan umum dan dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 33 UUD 1945. Proses penyelesaian pembelian saham tersebut memicu perbedaan pendapat antara Pemerintah dan DPR. DPR berpendapat bahwa Menkeu hanya dapat melakukan pembelian saham divestasi PT NNT setelah mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu. “Sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, termohon 1 (DPR) telah meminta termohon 2 (BPK) untuk melakukan audit dengan tujuan tertentu terhadap proses pembelian 7% saham divestasi PT NNT,” lanjut Agus.
Laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK, terang Agus, BPK berkesimpulan bahwa keputusan Pemerintah untuk melakukan investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan swasta yaitu pembelian 7% saham divestasi PT NNT oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk dan atas nama Pemerintah, harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR sebagai pemegang hak budget. Kendati demikian, Menkeu yakin mempunyai kewenangan konstitusional untuk melakukan pembelian tersebut. “Pemohon (Pemerintah) mempunyai kewenangan konstitusional untuk melakukan investasi pembelian 7% saham divestasi PT NNT tahun 2010 tanpa perlu persetujuan termohon 1 (DPR) terlebih dahulu,” tandas Agus.

Pengawasan Mutlak Diperlukan
Menanggapi permohonan Pemerintah, DPR melalui Harry Azhar Azis dalam tanggapannya di hadapan pleno hakim konstitusi menyatakan DPR mempunyai kewenangan konstitusional untuk memberikan persetujuan kepada Pemerintah dalam hal pembelian 7% saham divestasi PT NNT. “DPR mempunyai kewenangan konstitusional untuk memberikan persetujuan dalam hal Pemerintah melakukan penyertaan modal terhadap perusahaan swasta,” kata Harry.
Pengawasan DPR mutlak diperlukan. Pengawasan DPR bukan hanya terbatas pada pengelolaan di masing-masing sub bidang, mutasi unsur-unsur keuangan antarnegara, dari satu sub bidang ke sub bidang lainnya. Tetapi secara prinsip memerlukan persetujuan DPR. Hal ini, terangnya, merupakan konsekuensi dari pemberian kewenangan legislatif kepada eksekutif. Presiden sebagai kepala lembaga eksekutif tidak dapat mengingkari hal ini. Oleh karena itu, keputusan pembelian 7% saham divestasi PT NNT bukanlah semata keputusan eksekutif. “Tetapi harus melibatkan seluruh rakyat melalui para wakilnya di lembaga legislatif,” lanjut Harry.

Ditetapkan dengan PP
BPK selaku termohon 2 yang diwakili Sekjen BPK Hendar Ristriawan dalam keterangannya menyatakan, PT NNT merupakan perusahaan swasta yang tertutup. Sesuai dengan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, setiap perobahan kepemilikan saham harus dilakukan perubahan anggaran dasar PT NNT. “Saat ini perubahan anggaran dasar PT NNT terkait perubahan kepemilikan saham yang di dalamnya memuat kepemilikan saham Pemerintah tersebut, sedang dalam proses di BKPM,” terang Hendar.
Penyertaan modal Pemerintah pada perusahaan swasta diatur dalam Bab VI Pasal 24 UU 17/2003, Pasal 41 ayat (4) UU 1/2004. Pasal 24 ayat (7) UU 17/2003 menyatakan: “Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR.” 
“Setelah memenuhi persyaratan sebagaimana Pasal 24 ayat (7) UU 17/2003, penyertaan modal pemerintah pada perusahaan swasta harus ditetapkan dengan PP setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR,” lanjut Hendar.
Berdasarkan Pasal 41 ayat (4) UU 1/2004, papar Hendar, keputusan untuk melakukan investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal Pemerintah pada PT NNT yang merupakan perusahaan tertutup, merupakan kewenangan Pemerintah yang harus ditetapkan dengan PP. “Sedangkan kewenangan Menteri Keuangan selaku BUN adalah melakukan eksekusi penyediaan dana penatausahaan, pengawasan dan pelaporan atas keputusan Pemerintah tersebut,” tandas Hendar. (Nur Rosihin Ana) 

Jumat, 13 Januari 2012

Akomodir Calon Perseorangan, Dirjen Otda Minta Tahapan Pemilukada Aceh Ditunda


Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Aceh dilaksanakan berdasarkan Qanun. Hal ini merupakan amanat Pasal 73 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun, hingga saat ini Qanun yang baru sebagai pengganti Qanun Aceh No. 7 Tahun 2006 tentang Penyelengaraan Pemilihan Umum di Aceh belum dapat diterbitkan, karena terjadinya perbedaan penafsiran antara Gubernur Aceh dan Komite Independen Pemilihan (KIP) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
“Kami selalu mendorong Qanun yang baru bisa diwujudkan. Alhamdulillah, terakhir, pihak DPRA Aceh sudah ingin menyelesaikan Qanun yang baru.”
Demikian disampaikan Prof. Dr. Djohermasyah Johan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri), dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (13/1/2012). Persidangan pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 1/SKLN-X/2012 mengenai sengketa kewenangan antarlembaga negara (SKLN) ini diajukan oleh Dirjen Otda Kemendagri.
Dirjen Otda keberatan terhadap Keputusan KIP Aceh No. 26 Tahun 2011 Tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan KIP Aceh No. 1 Tahun 2011 Tentang Tahapan, Program, Jadwal Penyelengaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh. Sebab, apabila seluruh tahapan Pemilukada di Aceh tetap dilaksanakan sebagaimana keputusan KIP Nomor: 26 Tahun 2011 dan tidak diikuti oleh Partai Aceh, dapat diprediksi berpotensi terjadi gangguan Kamtibmas dalam pelaksanaan tahapan Pemilukada dan kemungkinan rendahnya partisipasi msyarakat dalam pemungutan suara, serta dapat menimbulkan gejolak politik dan keamanan di Aceh.
Qanun yang baru tersebut, lanjut  Djohermasyah, mengakomodasi calon perseorangan dapat mengikuti Pemilukada di Aceh. “Semula, kawan-kawan di DPRA menolak dimasukkannya calon perseorangan, tetapi sekarang ada dinamika politik lokal di sana yang berubah, kawan-kawan di DPRA bersedia untuk memasukkan pengaturan calon perseorangan di dalam Qanun” jelas Djohermasyah.
Djohermasyah juga mengemukakan perkembangan terakhir mengenai keikutsertaan Partai Aceh dalam Pemilukada Aceh, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. “Semula mereka menolak ikut karena mereka tidak menerima adanya calon perseorangan,” imbuhnya.
Menanggapi permohonan, Ketua Panel Hakim Harjono menyatakan, Pemohon harus bisa memetakan secara jelas antara sengketa Pemilukada dan SKLN. Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dalam nasehatnya menyatakan, sengketa kewenangan dalam hal melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan KPU. “Oleh karena itu saya sarankan, Menteri yang harus mengajukan diri sebagai Pemohon,” saran Hamdan. Sedangkan sebagai Termohon, lanjut Hamdan, adalah KIP dan KPU. “KIP sebagai Termohon I dan KPU sebagai Termohon II,” tambahnya.
Sementara Hakim Konstitusi Muhammad Alim menasehati petitum (pokok permohonan) agar dibagi menjadi dua sub, yaitu dalam provisi dan pokok permohonan. Kemudian, mempertegas nasehat Hamdan Zoelva, Alim menyarankan permohonan diajukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), bukan Dirjen Otda. “Sebaiknya yang mengajukan permohonan adalah Mendagri,” saran Alim.
Sidang berikutnya akan digelar pada Senin pekan depan, 16 Januari pukul 16.00 WIB dengan agenda perbaikan permohonan. (Nur Rosihin Ana).        

Kamis, 21 Juli 2011

SKLN Kab. Kutai Timur Vs Menteri ESDM: Ahli Pemohon Tegaskan Usaha Pertambangan merupakan Kewenangan Pemda

Majelis Hakim Konstitusi sedang mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon Prof. Dr. Laica Marzuki (Guru Besar Fakultas Hukum Hasanuddin dan mantan Hakim MK) dalam Sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur, KAmis (21/7) di rUang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Empat ahli dari pihak Pemohon menyampaikan keterangannya di hadapan Sidang Pleno perkara SKLN antara Kementerian ESDM dan Pemda Kab. Kutai Timur, Kamis (21/7). Keempat ahli yang menyampaikan keterangannya, yaitu Prof. Dr. Laica Marzuki (Guru Besar Fakultas Hukum Hasanuddin dan mantan Hakim MK), Prof. Muchsan (Mantan Hakim Agung), Dr. Indra Prawira (Dosen FH Unpad), dan  Prof. Mas’ud Said (Dosen FH Universitas Muhammadiyah Malang).
 
Sidang perkara yang teregristasi dengan Nomor 3/SKLN-IX/2011 itu dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Moh. Mahfud MD. Ahli Pemohon yang mendapat kesempatan pertama menyampaikan keterangannya, yaitu Laica Marzuki.
 
Mantan hakim konstitusi itu menyampaikan tafsir terkait Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 18 ayat (1) dan ayat (5) UU yang sama. Pada pasal-pasal tersebut ditetapkan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik dan dibagi atas daerah-daerah provinsi. Selanjutnya daerah-daerah provinsi itu dibagi lagi menjadi kabupaten dan kota yang pemerintahannya dijalankan dengan otonomi seluas-luasnya. Namun, urusan pemerintahan yang diatur oleh undang-undang menjadi urusan pemerintah pusat.
 
Lebih lanjut Laica menyampaikan bahwa yang menjadi urusan pemerintah pusat menurut UUD 1945, yaitu urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. “Di luar urusan pemerintah pusat tersebut, urusan pemerintahan lainnya merupakan kewenangan daerah-daerah otonom. Hal pertambangan tidak termasuk urusan pemerintah pusat,” tegas Laica.
 
Laica juga mengatakan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah membuat pemerintah daerah, terutama Pemda Kab. Kutai Timur tidak dapat menjalankan kewenangan konstitusionalnya dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
 
“Hal pertambangan mineral dan energi memang seyogianya merupakan kewenangan konstitusional pemerintan daerah provinsi, kabipaten/kota in casu Pemohon Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur,” tandas Laica.
 
Hal senada juga diutarakan Guru Besar UGM, Muhsan. Terkait otonomi daerah, Muhsan mengatakan bahwa Pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota yang berstatus sebagai daerah otonom memiliki kewenangan onotom seluas-luasnya juga. “Menurut Prof. Mr. Durpsteen dalam bukunya ‘Administratiief Recht’, kewenangan otonomo merupakan wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri yang meliputi kewenangan untuk mengatur dan mengelola SDM sendiri, kewenangan mengatur keuangan sendiri, dan kewenangan untuk memberdayakan masyarakat,” papar Muhsan.
 
Selanjutnya, Muhsan mengatakan, sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Pemda berhak untuk menggali sumber-sumber keuangan termasuk mengelola sumber daya alam di wilayah pemerintahannya. Namun, setelah munculnya UU No. 4 Tahun 1999 yang secara jelas menyatakan pengelolaan pertambangan Minerba menjadi kewenangan pemerintah pusat.
 
“Seharusnya, suatu kewenangan harus bersifat komprehensif baik yang bersifat prosedural maupun substansial. Ini berarti, kewenangan pengelolaan pertambangan yang meliputi perizinan, penetapan wilayah, maupun operasional dari kegiatan pertambangan tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah,” tandas Muhsan. (Yusti Nurul Agustin/mh)
 
sumber:

Rabu, 06 Juli 2011

Sengketa Kewenangan Lembaga Negara: Kab. Kutai Timur Perbaiki Permohonan

Jakarta, MKOnline – Pihak Pemohon perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Kabupaten Kutai Timur dengan Presiden RI, casu quo Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Termohon) telah memperbaiki permohonannnya sesuai saran Panel Hakim pada persidangan sebelumnya. Pemohon melakukan perbaikan pada subjek Termohon yang tadinya pemerintah pusat menjadi Presiden RI. Pemohon juga menambahkan uraian mengenai kewenangan Pemohon dan Termohon.

Sidang Panel yang diketuai M. Akil Mochtar yang didampingi dua anggota hakim panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi Anwar Usman beragendakan pemeriksaan perbaikan permohonan, Senin (27/6). Sidang kali ini juga dihadiri oleh Pemohon Prinsipal yang juga Bupati Kabupaten Kutai Timur, yaitu Isran Noor. Hadir pula para kuasa hukum Pemohon, yaitu Robikin Emhas, Arif Effendi, dan Syarif Hidayatullah.

Kuasa hukum Pemohon. Robikin Emhas di awal persidangan mendapat kesempatan untuk menjelaskan perbaikan permohonan yang telah dilakukan oleh pihaknya. Robikin mengatakan, perbaikan permohonan telah dilakukan sesuai nasihat  Panel Hakim pada persidangan sebelumnya. “Perbaikan pertama adalah tentang subjek Termohon yang dahulunya adalah pemerintah pusat, tetapi kemudian sekarang kami sebutkan secara definitif, Presiden. Karena pemerintah pusat dalam hal ini juga dikepalai oleh kepala pemerintahan yaitu Presiden,” ujar Robikin.

Pemohon juga menambahkan uraian mengenai kewenangan Pemohon dengan Termohon, Presiden RI, sebagai bagian dalam poin kedua perbaikan permohonan. Robikin kemudian menegaskan bahwa sesuai Pasal 18 UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah Pemda Kabupaten Kutai Timur dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Masih dalam pasal yang sama, pada ayat (5) menurut Robikin disebutkan, “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah.”

“Dalam pandangan kami, dari ketentuan pasal itu maka kemudian kewenangan untuk mengatur pemerintah daerah selain yang ditentukan oleh undang-undang sebagai kewenangan pemerintah pusat, yaitu ada enam hal itu adalah menjadi kewenangan pemerintah daerah. Enam hal yang menjadi urusan pemerintah pusat yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, serta agama,” papar Robikin.

Hamdan Zoelva kemudian mengingatkan Pemohon agar menguraikan enam kewenangan pemerintah pusat yang ditentukan oleh undang-undang. ”Harus diuraikan yang enam itu. Pemerintah pusat masih bisa menjalankan kewenangan yang bisa dilaksanakan sendiri, bisa dilimpahkan kepada daerah. Saudara harus uraikan, ya agar tidak terpotong-potong,” saran Hamdan.

Untuk persidangan selanjutnya, Pihak Pemohon mengajukan empat ahli yang akan menyampaikan keterangan terkait sengketa kewenangan yang diperkarakan. Keempat ahli yang diajukan, yaitu Prof. Dr. Laica Marzuki (Guru Besar Fakultas Hukum Hasanuddin dan mantan Hakim MK), Prof. Muchsan (Mantan hakim Agung), Dr. Indra Prawira (Dosen FH Unpad), dan  Prof. Mas’ud Said (Dosen FH Universitas Muhammadiyah Malang). (Yusti Nurul Agustin/mh)


Kamis, 26 Mei 2011

Bupati Kutai Timur Ajukan Permohonan SKLN terhadap Kementrian ESDM

Jakarta, MKOnline-Mahkamah Konstitusi (MK) di tahun ini kembali menyidangkan perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). Kali ini, Kamis (26/5), perkara SKLN Bupati Kabupaten Kutai Timur terhadap Pemerintah dalam hal ini.Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI digelar di MK. Pemohon perkara ini, yaitu Isran Noor, Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Hadir dalam persidangan tersebut, yaitu kuasa hukum Pemohon, Robikin Emhas, Arif Effendi, dan Syarif Efendi. Sedangkan dari Pemerintah yang hadir, yaitu Fadli Ibrahim dari Kementria ESDM, Sony Prasetyo, dan Dodi dari Kementerian Hukum dan HAM.

Robikin Emhas menyampaikan pokok permohonan dari pihaknya. Robikin mengatakan permohonannya terkait dengan pemberian kewenangan oleh UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Pemohon mempermasalahkan mengenai tiga hal. Pertama, tentang penetapan wilayah pertambangan seperti yang termaktub dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e dan Pasal 9 ayat (2) UU Minerba. Kedua, tentang penetapan wilayah usaha pertambangan sebagaimana ditentukan pada Pasal 14 ayat (1) UU Minerba. Ketiga, tentang pemberian wewenang oleh UU untuk menetapkan wilayah izin usaha pertambangan.seperti yang diatur dalam pasal 17 ayat (1) UU Minerba.

Robikin lebih lanjut mengatakan, Pemohon tidak bisa melakukan tindakan-tindakan pengelolaan potensi Sumber Daya Alam khususnya Minerba sebagaimana yang seharusnya diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945. Pemohon menganggap pengelolaan Sumber Daya Alam di Kutai Timur seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten atau Pemohon demi kesejahteraan rakyat. “Sesuai Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945 merupakan wewenang yang semestinya milik Pemerintah Kabupaten,” ujar Robikin.

Hamdan Zoelva yang menjadi Ketua Panel Hakim menyarankan agar Pemohon melihat kembali apakah lembaga negara yang disengketakan benar-benar merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Hamdan mengingatkan, lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Selain itu, Hamdan juga mengingatkan Pemohon agar fokus pada SKLN, bukan perkara PUU. Pasalnya, pokok permohonan Pemohon sangat kental dengan pokok permohonan dalam Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Rabu, 06 April 2011

Mediasi Pemda Penajam Paser Utara-Kemenhut Gagal Terkait Bukit Soeharto

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Penajam Paser Utara (Pemohon) dengan Menteri Kehutanan (Termohon),  Rabu (6/4). Perkara dengan nomor regisrtrasi No. 2/SKLN-IX/2011 ini beragendakan pemeriksaan perbaikan Pemohon.
Sidang kali ini dihadiri kuasa hukum Pemohon, Andi Muhammad Asrun dan Merlina beserta wakil prinsipal pemohon Sutiman (Sekretaris Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara) dan Jono (Kadis Pertambangan Kabupaten Penajam Paser Utara). Sedangkan dari pemerintah atau Termohon dihadiri oleh Gunarto Agung Prasetyo (Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama Teknik Kementerian Kehutanan), Supardi (Kepala Bagian Penanganan Perkara Kementerian Kehutanan), dan Mualimin (Kemenkumham).
Pada persidangan sebelumnya, Jumat (11/3), Panel Hakim yang terdiri dari M. Akil Mochtar (ketua), Ahmad Fadlil Sumadi (anggota), dan Hamdan Zoelva (anggota) sudah memberikan saran agar Pemohon dan Termohon melakukan mediasi demi terwujudnya penyelesaian yang bersifat non-litigasi.
Melalui kuasa hukumnya, Andi Asrun, Pemohon pada persidangan sebelumnya mendalilkan bahwa hak konstitusional Pemohon dirugikan oleh Termohon dengan fakta telah hilangnya fungsi hutan di Kabupaten Sepaku yang sebelumnya telah menjadi wilayah transmigrasi menjadi hutan wisata bukit Soeharto. Dengan hilangnya fungsi tersebut, menyebabkan hilangnya kewenangan Menteri Kehutanan RI atas wilayah itu karena Pemda Penajam Paser Utara harus menjalankan pemerintahan secara utuh di seluruh wilayah Penajam Paser Utara termasuk pada wilayah yang hilang tersebut.
Dan pada persidangan ini diketahui, Pemohon dan Termohon tidak bisa melaksanakan saran Panel Hakim untuk melakukan mediasi. Baik Pemohon dan Termohon menganggap upaya tersebut tidak bisa dilakukan meski mereka sudah bertemu dan berupaya untuk menyelesaikan perkara ini dengan cara mediasi. “Sudah ada kunjungan dari Tim kementerian Kehutanan ke lokasi, tapi di lokasi yang muncul adalah perdebatan dan saling menyalahkan,” ujar Asrun di hadapan Mahkamah, Rabu (6/4).
Hal serupa juga diungkapkan Pihak Pemerintah, Gunarto Agung Prasetyo. Gunarto mengatakan, pihaknya sudah melakukan upaya secara terbuka untuk mencapai kesepakatan. Namun, sejatinya mekanisme perubahan fungsi hutan sudah memiliki regulasinya termasuk, mengenai kewenangan di Taman Hutan Raya juga sudah dibagi habis terkait kewenangan dan fungsi dari bupati, gubernur, sampai pemerintah pusat. “Pemerintah pusat hanya menetapklan NSPK, Norma Standar Prosedur dan Kriteria,” ujar Gunarto.
Perbaikan Permohonan
Pihak Pemohon, pada persidangan kali ini juga memperbaiki petitumnya. Bila pada persidangan sebelumnya pemohon meminta Mahkamah menyatakan, Pemohon memiliki kewenangan untuk mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan di seluruh wilayah Penajam Paser Utara sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Petitum itu kemudian diubah pada persidangan kali ini menjadi meminta Mahkamah menyatakan Termohon tidak memiliki kewenangan untuk mengatur penyelenggaraan pengurusan kehutan di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b UU No. 14 Tahun 1999 yaitu di desa dan kelurahan yang ada di wilayah kecamatan Penajam, Sepaku, Waru, dan Babulu.
Petitum ketiga, menyatakan Pemohon memiliki kewenangan untuk mengatur penyelenggaraan urusan pemerintah di seluruh wilayah Penajam Paser Utara, yaitu seluruh satuan wilayah pemerintahan desa dan kelurahan pada Kecamatan Penajam, Sepaku, Waru, dan Babulu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. (Yusti Nurul Agustin/mh)