Rabu, 04 April 2012

Pembelian Saham Divestasi PT Newmont Nusa Tenggara Harus Dapat Persetujuan DPR

Sumber keuangan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai Badan Layanan Umum (BLU) adalah dari APBN, dan keuntungan PIP masuk kategori pendapatan negara bukan pajak dan merupakan bagian dari penerimaan APBN. Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan dan bagian yang tidak dipisahkan dari APBN.

Menurut pandangan DPR, proses pembelian saham divestasi PT NNT oleh PIP merupakan bentuk penyertaan modal. Hal ini sebagaimana pengertian Pasal 24 ayat (2) dan (7) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. “Proses pembelian saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara oleh Pusat Investasi Pemerintah sebesar 7%, DPR RI berpandangan, ini termasuk penyertaan modal, sehingga berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003, mutlak mendapatkan persetujuan DPR RI.” Demikian Pandangan DPR yang disampaikan oleh anggota Komisi XI Arif Budimanta di persidangan Mahkamah Konstitusi Rabu (4/4/2012).

Sidang pleno untuk perkara nomor 2/SKLN-X/2012 mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Presiden Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini mengagendakan mendengarkan keterangan Ahli/Saksi dari Pemohon, Termohon I dan Termohon II (IV). Permohononan SKLN ini diajukan oleh Presiden melalui Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan sebagai Termohon 1 yaitu DPR dan BPK sebagai Termohon II. Sebagaimana dalam persidangan sebelumnya, Pemerintah (Pemohon) dalam permohonannya menyatakan memiliki hak konstitusional untuk melakukan investasi dengan membeli 7% (tujuh persen) saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) tanpa melalui persetujuan DPR (Termohon I). Di sisi lain, DPR berpendapat, Pemerintah harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu sebelum melakukan penyertaan modal.

Pengawasan Mutlak

Siswo Sujanto ahli yang dihadirkan BPK dalam keterangannya antara lain menyatakan keberadaan PIP di Kemenkeu saat ini sangat janggal. Alasanya, PIP sebagai BLU seharusnya bercirikan sebagai institusi pemerintah penyedia layanan publik yang tidak berorientasi pada profit. “Kenyataannya, sebaga lembaga investasi, PIP merupakan institusi yang berorientasi pada pemupukan keuntungan,” kata Siswo.
Menurutnya, pembelian saham divestasi PT NNT sebesar 7% oleh Pemerintah yang dilakukan oleh PIP, harus dituangkan dalam rencana bisnis dan anggaran PIP selaku BLU. Selanjutnya, rencana bisnis dan anggaran PIP selaku BLU sebagai bagian dari RKA-KL Kemenkeu harus dibahas dan disetujui oleh DPR. “Dengan demikian, pembelian saham PT NNT sebesar 7% oleh pihak Pemohon dalam hal ini dilakukan oleh PIP harus dibahas dan disetujui terlebih dahulu oleh DPR sebelum dilaksanakan,” tandasnya.  

Ahli BPK lainnya, Muchsan, dalam keterangannya menyatakan, pemeriksaan BPK yang dituangkan dalam Laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK yang menyatakan bahwa proses pembelian saham PT NNT tahun 2010 harus disetujui oleh DPR sesuai dengan kewenangan BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 23E ayat (3) UUD 1945. Pembelian saham PT NNT sebesar 7% yang tidak atau belum ada persetujuan DPR, bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945.

Sementara itu, Frans Limahelu, ahli BPK, melihat perkara ini bukan perkara sengketa kewenangan lembaga negara. “Tapi hanya soal day to day atau housekeeping regulations,” kata Frans.

Anggito Abimanyu, ahli yang dihadirkan Mahkamah, dalam keterangannya, sebagai saksi sejarah sekaligus pelaku yang terlibat langsung dari proses awal divestasi PT NNT, Anggito sangat menyayangkan terjadinya SKLN divestasi PT NNT yang mengakibatkan terganggunya kepercayaan para pelaku usaha dan ketidakpastian iklim investasi khususnya di sektor pertambangan umum. “Saya juga sangat menyayangkan berlarutnya penyelesaian divestasi NNT hingga lebih dari satu tahun, hingga Indonesia telah kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan negara, mensejahterahkan provinsi NTB dan kabupaten sekitar,” terang Anggito.

Menurutnya, alokasi dana investasi divestasi 7% saham NNT belum terinci dalam rencana kegiatan investasi, rencana bisnis dan anggaran PIP 2011. Kemudian, rincian belanja satuan kerja sub program PIP pada 2011 telah tercantum angka 1 trilyun rupiah. Sehingga dana tersebut belum mencukupi untuk pembelian 7% saham PT NNT. Lebih lanjut anggito menyatakan, proses pembelian saham PT NNT memerlukan persetujuan DPR. “Saya berpendapat bahwa proses pembelian 7% saham PT NNT oleh PIP masih memerlukan persetujuan dari komisi terkait, yaitu Komisi XI DPR RI sebagai bagian dari kelengkapan proses persetujuan APBN 2011,” tandas Anggito. (Nur Rosihin Ana)