Kamis, 21 Juli 2011

SKLN Kab. Kutai Timur Vs Menteri ESDM: Ahli Pemohon Tegaskan Usaha Pertambangan merupakan Kewenangan Pemda

Majelis Hakim Konstitusi sedang mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon Prof. Dr. Laica Marzuki (Guru Besar Fakultas Hukum Hasanuddin dan mantan Hakim MK) dalam Sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur, KAmis (21/7) di rUang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Empat ahli dari pihak Pemohon menyampaikan keterangannya di hadapan Sidang Pleno perkara SKLN antara Kementerian ESDM dan Pemda Kab. Kutai Timur, Kamis (21/7). Keempat ahli yang menyampaikan keterangannya, yaitu Prof. Dr. Laica Marzuki (Guru Besar Fakultas Hukum Hasanuddin dan mantan Hakim MK), Prof. Muchsan (Mantan Hakim Agung), Dr. Indra Prawira (Dosen FH Unpad), dan  Prof. Mas’ud Said (Dosen FH Universitas Muhammadiyah Malang).
 
Sidang perkara yang teregristasi dengan Nomor 3/SKLN-IX/2011 itu dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Moh. Mahfud MD. Ahli Pemohon yang mendapat kesempatan pertama menyampaikan keterangannya, yaitu Laica Marzuki.
 
Mantan hakim konstitusi itu menyampaikan tafsir terkait Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 18 ayat (1) dan ayat (5) UU yang sama. Pada pasal-pasal tersebut ditetapkan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik dan dibagi atas daerah-daerah provinsi. Selanjutnya daerah-daerah provinsi itu dibagi lagi menjadi kabupaten dan kota yang pemerintahannya dijalankan dengan otonomi seluas-luasnya. Namun, urusan pemerintahan yang diatur oleh undang-undang menjadi urusan pemerintah pusat.
 
Lebih lanjut Laica menyampaikan bahwa yang menjadi urusan pemerintah pusat menurut UUD 1945, yaitu urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. “Di luar urusan pemerintah pusat tersebut, urusan pemerintahan lainnya merupakan kewenangan daerah-daerah otonom. Hal pertambangan tidak termasuk urusan pemerintah pusat,” tegas Laica.
 
Laica juga mengatakan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah membuat pemerintah daerah, terutama Pemda Kab. Kutai Timur tidak dapat menjalankan kewenangan konstitusionalnya dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
 
“Hal pertambangan mineral dan energi memang seyogianya merupakan kewenangan konstitusional pemerintan daerah provinsi, kabipaten/kota in casu Pemohon Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur,” tandas Laica.
 
Hal senada juga diutarakan Guru Besar UGM, Muhsan. Terkait otonomi daerah, Muhsan mengatakan bahwa Pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota yang berstatus sebagai daerah otonom memiliki kewenangan onotom seluas-luasnya juga. “Menurut Prof. Mr. Durpsteen dalam bukunya ‘Administratiief Recht’, kewenangan otonomo merupakan wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri yang meliputi kewenangan untuk mengatur dan mengelola SDM sendiri, kewenangan mengatur keuangan sendiri, dan kewenangan untuk memberdayakan masyarakat,” papar Muhsan.
 
Selanjutnya, Muhsan mengatakan, sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Pemda berhak untuk menggali sumber-sumber keuangan termasuk mengelola sumber daya alam di wilayah pemerintahannya. Namun, setelah munculnya UU No. 4 Tahun 1999 yang secara jelas menyatakan pengelolaan pertambangan Minerba menjadi kewenangan pemerintah pusat.
 
“Seharusnya, suatu kewenangan harus bersifat komprehensif baik yang bersifat prosedural maupun substansial. Ini berarti, kewenangan pengelolaan pertambangan yang meliputi perizinan, penetapan wilayah, maupun operasional dari kegiatan pertambangan tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah,” tandas Muhsan. (Yusti Nurul Agustin/mh)
 
sumber:

Rabu, 06 Juli 2011

Sengketa Kewenangan Lembaga Negara: Kab. Kutai Timur Perbaiki Permohonan

Jakarta, MKOnline – Pihak Pemohon perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Kabupaten Kutai Timur dengan Presiden RI, casu quo Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Termohon) telah memperbaiki permohonannnya sesuai saran Panel Hakim pada persidangan sebelumnya. Pemohon melakukan perbaikan pada subjek Termohon yang tadinya pemerintah pusat menjadi Presiden RI. Pemohon juga menambahkan uraian mengenai kewenangan Pemohon dan Termohon.

Sidang Panel yang diketuai M. Akil Mochtar yang didampingi dua anggota hakim panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi Anwar Usman beragendakan pemeriksaan perbaikan permohonan, Senin (27/6). Sidang kali ini juga dihadiri oleh Pemohon Prinsipal yang juga Bupati Kabupaten Kutai Timur, yaitu Isran Noor. Hadir pula para kuasa hukum Pemohon, yaitu Robikin Emhas, Arif Effendi, dan Syarif Hidayatullah.

Kuasa hukum Pemohon. Robikin Emhas di awal persidangan mendapat kesempatan untuk menjelaskan perbaikan permohonan yang telah dilakukan oleh pihaknya. Robikin mengatakan, perbaikan permohonan telah dilakukan sesuai nasihat  Panel Hakim pada persidangan sebelumnya. “Perbaikan pertama adalah tentang subjek Termohon yang dahulunya adalah pemerintah pusat, tetapi kemudian sekarang kami sebutkan secara definitif, Presiden. Karena pemerintah pusat dalam hal ini juga dikepalai oleh kepala pemerintahan yaitu Presiden,” ujar Robikin.

Pemohon juga menambahkan uraian mengenai kewenangan Pemohon dengan Termohon, Presiden RI, sebagai bagian dalam poin kedua perbaikan permohonan. Robikin kemudian menegaskan bahwa sesuai Pasal 18 UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah Pemda Kabupaten Kutai Timur dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Masih dalam pasal yang sama, pada ayat (5) menurut Robikin disebutkan, “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah.”

“Dalam pandangan kami, dari ketentuan pasal itu maka kemudian kewenangan untuk mengatur pemerintah daerah selain yang ditentukan oleh undang-undang sebagai kewenangan pemerintah pusat, yaitu ada enam hal itu adalah menjadi kewenangan pemerintah daerah. Enam hal yang menjadi urusan pemerintah pusat yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, serta agama,” papar Robikin.

Hamdan Zoelva kemudian mengingatkan Pemohon agar menguraikan enam kewenangan pemerintah pusat yang ditentukan oleh undang-undang. ”Harus diuraikan yang enam itu. Pemerintah pusat masih bisa menjalankan kewenangan yang bisa dilaksanakan sendiri, bisa dilimpahkan kepada daerah. Saudara harus uraikan, ya agar tidak terpotong-potong,” saran Hamdan.

Untuk persidangan selanjutnya, Pihak Pemohon mengajukan empat ahli yang akan menyampaikan keterangan terkait sengketa kewenangan yang diperkarakan. Keempat ahli yang diajukan, yaitu Prof. Dr. Laica Marzuki (Guru Besar Fakultas Hukum Hasanuddin dan mantan Hakim MK), Prof. Muchsan (Mantan hakim Agung), Dr. Indra Prawira (Dosen FH Unpad), dan  Prof. Mas’ud Said (Dosen FH Universitas Muhammadiyah Malang). (Yusti Nurul Agustin/mh)


Kamis, 26 Mei 2011

Bupati Kutai Timur Ajukan Permohonan SKLN terhadap Kementrian ESDM

Jakarta, MKOnline-Mahkamah Konstitusi (MK) di tahun ini kembali menyidangkan perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). Kali ini, Kamis (26/5), perkara SKLN Bupati Kabupaten Kutai Timur terhadap Pemerintah dalam hal ini.Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI digelar di MK. Pemohon perkara ini, yaitu Isran Noor, Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Hadir dalam persidangan tersebut, yaitu kuasa hukum Pemohon, Robikin Emhas, Arif Effendi, dan Syarif Efendi. Sedangkan dari Pemerintah yang hadir, yaitu Fadli Ibrahim dari Kementria ESDM, Sony Prasetyo, dan Dodi dari Kementerian Hukum dan HAM.

Robikin Emhas menyampaikan pokok permohonan dari pihaknya. Robikin mengatakan permohonannya terkait dengan pemberian kewenangan oleh UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Pemohon mempermasalahkan mengenai tiga hal. Pertama, tentang penetapan wilayah pertambangan seperti yang termaktub dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e dan Pasal 9 ayat (2) UU Minerba. Kedua, tentang penetapan wilayah usaha pertambangan sebagaimana ditentukan pada Pasal 14 ayat (1) UU Minerba. Ketiga, tentang pemberian wewenang oleh UU untuk menetapkan wilayah izin usaha pertambangan.seperti yang diatur dalam pasal 17 ayat (1) UU Minerba.

Robikin lebih lanjut mengatakan, Pemohon tidak bisa melakukan tindakan-tindakan pengelolaan potensi Sumber Daya Alam khususnya Minerba sebagaimana yang seharusnya diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945. Pemohon menganggap pengelolaan Sumber Daya Alam di Kutai Timur seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten atau Pemohon demi kesejahteraan rakyat. “Sesuai Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945 merupakan wewenang yang semestinya milik Pemerintah Kabupaten,” ujar Robikin.

Hamdan Zoelva yang menjadi Ketua Panel Hakim menyarankan agar Pemohon melihat kembali apakah lembaga negara yang disengketakan benar-benar merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Hamdan mengingatkan, lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Selain itu, Hamdan juga mengingatkan Pemohon agar fokus pada SKLN, bukan perkara PUU. Pasalnya, pokok permohonan Pemohon sangat kental dengan pokok permohonan dalam Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Rabu, 06 April 2011

Mediasi Pemda Penajam Paser Utara-Kemenhut Gagal Terkait Bukit Soeharto

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Penajam Paser Utara (Pemohon) dengan Menteri Kehutanan (Termohon),  Rabu (6/4). Perkara dengan nomor regisrtrasi No. 2/SKLN-IX/2011 ini beragendakan pemeriksaan perbaikan Pemohon.
Sidang kali ini dihadiri kuasa hukum Pemohon, Andi Muhammad Asrun dan Merlina beserta wakil prinsipal pemohon Sutiman (Sekretaris Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara) dan Jono (Kadis Pertambangan Kabupaten Penajam Paser Utara). Sedangkan dari pemerintah atau Termohon dihadiri oleh Gunarto Agung Prasetyo (Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama Teknik Kementerian Kehutanan), Supardi (Kepala Bagian Penanganan Perkara Kementerian Kehutanan), dan Mualimin (Kemenkumham).
Pada persidangan sebelumnya, Jumat (11/3), Panel Hakim yang terdiri dari M. Akil Mochtar (ketua), Ahmad Fadlil Sumadi (anggota), dan Hamdan Zoelva (anggota) sudah memberikan saran agar Pemohon dan Termohon melakukan mediasi demi terwujudnya penyelesaian yang bersifat non-litigasi.
Melalui kuasa hukumnya, Andi Asrun, Pemohon pada persidangan sebelumnya mendalilkan bahwa hak konstitusional Pemohon dirugikan oleh Termohon dengan fakta telah hilangnya fungsi hutan di Kabupaten Sepaku yang sebelumnya telah menjadi wilayah transmigrasi menjadi hutan wisata bukit Soeharto. Dengan hilangnya fungsi tersebut, menyebabkan hilangnya kewenangan Menteri Kehutanan RI atas wilayah itu karena Pemda Penajam Paser Utara harus menjalankan pemerintahan secara utuh di seluruh wilayah Penajam Paser Utara termasuk pada wilayah yang hilang tersebut.
Dan pada persidangan ini diketahui, Pemohon dan Termohon tidak bisa melaksanakan saran Panel Hakim untuk melakukan mediasi. Baik Pemohon dan Termohon menganggap upaya tersebut tidak bisa dilakukan meski mereka sudah bertemu dan berupaya untuk menyelesaikan perkara ini dengan cara mediasi. “Sudah ada kunjungan dari Tim kementerian Kehutanan ke lokasi, tapi di lokasi yang muncul adalah perdebatan dan saling menyalahkan,” ujar Asrun di hadapan Mahkamah, Rabu (6/4).
Hal serupa juga diungkapkan Pihak Pemerintah, Gunarto Agung Prasetyo. Gunarto mengatakan, pihaknya sudah melakukan upaya secara terbuka untuk mencapai kesepakatan. Namun, sejatinya mekanisme perubahan fungsi hutan sudah memiliki regulasinya termasuk, mengenai kewenangan di Taman Hutan Raya juga sudah dibagi habis terkait kewenangan dan fungsi dari bupati, gubernur, sampai pemerintah pusat. “Pemerintah pusat hanya menetapklan NSPK, Norma Standar Prosedur dan Kriteria,” ujar Gunarto.
Perbaikan Permohonan
Pihak Pemohon, pada persidangan kali ini juga memperbaiki petitumnya. Bila pada persidangan sebelumnya pemohon meminta Mahkamah menyatakan, Pemohon memiliki kewenangan untuk mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan di seluruh wilayah Penajam Paser Utara sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Petitum itu kemudian diubah pada persidangan kali ini menjadi meminta Mahkamah menyatakan Termohon tidak memiliki kewenangan untuk mengatur penyelenggaraan pengurusan kehutan di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b UU No. 14 Tahun 1999 yaitu di desa dan kelurahan yang ada di wilayah kecamatan Penajam, Sepaku, Waru, dan Babulu.
Petitum ketiga, menyatakan Pemohon memiliki kewenangan untuk mengatur penyelenggaraan urusan pemerintah di seluruh wilayah Penajam Paser Utara, yaitu seluruh satuan wilayah pemerintahan desa dan kelurahan pada Kecamatan Penajam, Sepaku, Waru, dan Babulu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Selasa, 05 April 2011

MK Kembali Sidangkan Sengketa Tapal Batas antara Pemkab dan Pemkot Sorong

Jakarta, MKOnline – Sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sorong dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Sorong, Provinsi Papua Barat, kembali digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (5/4/2011).

Permohonan diajukan oleh Pemkab Sorong yang dalam hal ini dihadiri oleh duo kuasa hukumnya, Christoffel Tutuarima dan Alexi Sasube. Sedangkan Termohon Pemkot Sorong dihadiri Walikota Sorong, J.A. Jumame, Kabag Pemerintahan, Rahman, dan Anggota DPR Kota Sorong, Ishak Rahareng, serta didampingi kuasa hukumnya, Haris Nurlete.

Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini, Pemohon melalui kuasanya menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan. Di antaranya mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, kerugian konstitusional, dan batas wilayah yang menjadi sengketa, serta perbaikan permintaan permohonan (petitum).

“Pertama, menyangkut perbedaan antara lembaga negara dan lembaga daerah. Kedua, menyangkut sengketa kewenangan konstitusi lembaga negara, khususnya kewenangan konstitusi Pemohon yang dirugikan. Ketiga, menyangkut batas-batas wilayah antara pemohon dan Termohon,” kata kuasa hukum Pemohon, Christoffel Tutuarima.

Sebagaimana dalam persidangan pendahuluan ((21/2/2011) lalu, Pemkab Sorong mengklaim penataan wilayah Kota Sorong (Termohon) yang berasal dari batas wilayah Kota Administrasi Sorong telah mengurangi wilayah Kab. Sorong (Pemohon). Termohon telah menentukan tapal batas wilayah menurut keinginan Termohon sendiri tanpa ada koordinasi dengan Pemohon untuk membangun tanda tapal batas antara perbatasan Kota Sorong dan Kab. Sorong.

Pemohon menganggap tapal batas Kota Sorong telah masuk dalam wilayah Kabupaten Sorong seluas 4 kilometer melewati hutan lindung dan tanah Dinas Pertanian Kab. Sorong yang merupakan batas terakhir dari Kelurahan Klasaman. Selain itu,
Pemohon juga mengatakan Termohon telah melakukan upaya mengelabui isi Peraturan Pemerintah 31/1996 dan UU 45/1999. Pasalnya, Termohon dianggap telah melakukan penggusuran terhadap hutan lindung dan membangun daerah pemukiman baru serta melakukan pemekaran dan pembentukan distrik dan kelurahan baru di wilayah Kab. Sorong. Tidak hanya itu, Termohon pun membangun dua kantor kelurahan, yaitu Kelutrahan Klablim dan Kelurahan Klasuat.
Pemohon menganggap tapal batas Kota Sorong telah masuk dalam wilayah Kabupaten Sorong seluas 4 kilometer melewati hutan lindung dan tanah Dinas Pertanian Kabupaten Sorong yang merupakan batas terakhir dari Kelurahan Klasaman.

Terhadap perbaikan Permohonan, Pemkot Sorong melalui kuasanya menyatakan belum menyiapkan jawaban tertulis. “Pada prinsipnya, secara tertulis kami belum siap,” kata kuasa Pemkot Sorong, Haris Nurlete.

Sebelum mengakhiri sidang untuk perkara Nomor 1/SKLN-IX/2011, Panel Hakim yang menyidangkan perkara ini yaitu Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar yang bertindak sebagai ketua, didampingi Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati sebagai anggota, mengesahkan tiga bukti Pemohon, yaitu bukti P-1 sampai P-3. (Nur Rosihin Ana/mh)

Minggu, 13 Maret 2011

Objectum Litis Tak Penuhi Syarat, Permohonan SKLN Pemda Maluku Tengah Tidak Diterima

Jakarta, MKOnline - Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tengah terhadap Menteri Dalam Negeri - Perkara No. 1/SKLN-VIII/2010 - berakhir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima dalam sidang putusan MK, Jumat (11/3) pagi. 
“Permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 61 UU MK, sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima. Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” demikian dibacakan Mahfud MD selaku Ketua Pleno, didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Menurut Mahkamah, Pemerintahan Daerah menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah “Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD1945”.
Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 18 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) UUD 1945 dihubungkan dengan Pasal 1 angka 2 UU 32/2004, Bupati sebagai Kepala Pemerintah Daerah di tingkat kabupaten bersama-sama dengan DPRD Kabupaten sebagai satu kesatuan mewakili pemerintahan daerah, sehingga dianggap sebagai  lembaga negara yang mempunyai kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945,
Dengan demikian, menurut Mahkamah, dari sudut subjectum litis, Pemohon yaitu Bupati Kabupaten Maluku Tengah dan Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tengah adalah lembaga  negara sebagaimana dimaksud UUD 1945 dan memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga Pemohon memiliki kedudukan hukum  (legal standing).
Selain itu dalil Pemohon menyebutkan,  persoalan yang dipersengketakan oleh Pemohon adalah penetapan batas wilayah kabupaten yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan Peraturan Mendagri No. 29/2010 tentang Batas Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku, tanggal 13 April 2010, yang tidak merupakan kewenangan Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, kewenangan terhadap objectum litis permohonan Pemohon bukanlah kewenangan Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga tidak merupakan  objectum litis  dalam SKLN sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Pasal 61 UU MK, dan Pasal 2 PMK No. 08/PMK/2006.
Persoalan yang diajukan oleh Pemohon adalah pertentangan antara Peraturan Mendagri No.29 Tahun 2010 tentang Batas Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Dengan Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 123/PUU-VII/2009 tanggal 2 Februari 2010 yang telah mengubah Lampiran UU No. 40/ 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku.
“Menimbang bahwa karena subjectum litis dikaitkan dengan objectum litis permohonan Pemohon bukan merupakan subjek maupun objek SKLN, maka permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 61 UU MK  juncto Pasal 2 PMK No. 08/PMK/2006, sehingga pokok permohonan tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut,” demikian ungkap Majelis Hakim. (Nano Tresna A./mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5113